Menanti Riset Potensi Angin Selanjutnya – MAUL-UNDERGROUND

Jumat, 06 Januari 2012

Menanti Riset Potensi Angin Selanjutnya




SETELAH terjadi ledakan instalasi nuklir di Prefektur Fukushima, Jepang, beberapa waktu lalu menyusul gempa dahsyat sebelumnya, banyak pihak yang buru-buru mengaitkannya dengan pro dan kontra pembangunan PLTN Muria di Tanah Air. Yang kontra tentu saja bersandar pada pertanyaan mendasar: apa mampu kita mengelola instalasi yang rawan celaka, dengan sumber daya manusia yang minim?

Sementara yang mendukung bersikap optimistis: masalah nuklir itu adalah masalah yang harus dipecahkan, bukan dihindari. (Di Twitter, ada yang bertanya; banyak pesawat jatuh, tapi orang tetap naik pesawat, kan?)
Apalagi, kebutuhan energi kita kian membubung seiring pertumbuhan populasi. Negara-negara Eropa dan kemudian Asia seperti China, Korea, dan Jepang sudah lebih dulu bertindak dengan nuklir. Prancis bahkan begitu mengandalkan nuklir: sekitar 75% produksi energi listrik domestiknya berasal dari nuklir. Karenanya tidak heran jika kemudian pemerintah tetap bersikukuh pada rencana pembangunan PLTN.


Namun, saya belum akan membahas masalah nuklir di sini, melainkan salah satu potensi yang relatif lebih “aman” namun belum tergali: tenaga angin.

Amerika merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan instalasi pembangkit tenaga angin paling pesat (Amerika apa sih yang nggak pesat? :)) Dalam kurun 2007-2010 konsumsi minyak bumi negeri Paman Sam itu telah turun 8% disertai penurunan penggunaan dan produksi batu bara. Pada saat yang sama, sekitar 300 ladang angin dibangun, membangkitkan 21.000 megawatt energi listrik.

Macan Asia, China, juga melakukan hal yang sama: menjadi negara ranking dua (setelah AS) dalam memanen energi lewat angin, dengan kapasitas 26.000 megawatt. China juga terus melakukan ekspansi untuk menutupi kebutuhan energi listrik domestik hingga 16 kali lipat dari produksi saat ini. Dengan program Wind Base, China bakal membangun tujuh megakompleks angin, masing-masing berkapasitas 10-38 gigawatt, di enam provinsi. Saat selesai, kompleks ini akan membangkitkan lebih dari 130 gigawatt energi listrik. Ini setara dengan membangun satu pabrik batu bara per minggu, selama 2,5 tahun.

Menurut Indonesia Energy Outlook and Statistics yang diterbitkan Pengkajian Energi Universitas Indonesia (2006, seharusnya sudah ada versi terbarunya :)) dalam periode 2025, diproyeksikan kebutuhan listrik domestik mencapai 440,5 GWh, sebanyak 83%-nya masih bergantung pada batu bara dan gas alam. Sementara kontribusi dari energi terbarukan hanya 13,1 persen. Meski baru proyeksi, tentu saja ini angka yang mengkhawatirkan, ditilik dari sisi lingkungan.

Dengan kontur lanskap yang kaya, Indonesia seharusnya juga memiliki peluang untuk menikmati potongan kue energi dari angin. Sayangnya, masih minim sekali riset potensi angin sebagai sumber energi terbarukan. Di Bukit Mundi, Desa Klumpu, Nusa Penida, penelitian terowongan angin malah dinilai gagal karena pada kenyataannya kincir yang sudah telanjur dibangun hampir tidak pernah berputar.

Penelitian terakhir yang dilakukan BMG adalah 16 tahun lalu, itu pun tanpa memerinci potensi kapasitasnya (hanya penelitian kecepatan angin). Padahal, dari hasil penelitian kecepatan angin, rata-rata wilayah yang disurvei memiliki kecepatan skala sedang (3-4 meter per detik) hingga besar (lebih dari 4 m/s) pada ketinggian 24 m.

Energi angin adalah sumber energi yang ramah lingkungan, karena ditenagai oleh angin: sumber ini tidak mengotori udara kayaknya pembangkit yang mengandalkan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara atau gas alam. Turbin angin juga tidak melemparkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Yang tak kalah penting, energi angin bergantung pada tenaga angin yang dapat diperbarui (dan mungkin tidak akan habis, selama kondisi iklim tidak berubah secara drastis). Dari sisi keekonomian, energi angin merupakan salah satu teknologi energi terbarukan paling murah saat ini.

Sebagai negara agraris (masih kan ya? :)), Indonesia juga “diuntungkan” dengan energi angin. Turbin angin bisa dibangun di atas lahan sawah atau ladang kebun karena tiangnya tidak banyak membutuhkan ruang, sehingga tidak mengganggu kegiatan pertanian/perkebunan. Ditambah lagi, pemilik instalasi turbin bisa menyewa lahan dari petani/pemilik lahan sehingga mendatangkan pemasukan bagi petani di pedesaan, di mana tenaga angin biasanya berada.

Akan tetapi, bukan berarti energi angin tidak memiliki kerugian. Investasi awal pembangunan turbin angin dinilai lebih besar daripada membangun generator bahan bakar fosil. Tantangan lainnya adalah, tiupan angin bersifat sporadis, dan tidak selalu ada ketika dibutuhkan. Energi angin juga tidak bisa disimpan, kecuali dilengkapi dengan aki. Lokasi energi angin biasanya terletak di pedesaan, padahal kebutuhan energi listrik lebih banyak di perkotaan sehingga ada kendala transportasi energi.

Dari sisi lingkungan, meski energi angin relatif bersih, banyak kasus baling-baling kincir angin membunuh populasi burung, dan mengeluarkan polusi suara yang mengganggu.
Namun, seperti halnya masalah pada energi nuklir (dan tentu masalah dalam hidup pada umumnya), persoalan tersebut tidak seharusnya dihindari, bukan? Mari cari pemecahannya
source : area hijau blog

Artikel Terkait

0 comments:

SAVE THE EARTH

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...