Setelah 200 tahun tertidur, pada 19 Mei 1883, Batavia (Jakarta) dikejutkan dengan dentuman keras, melebihi bunyi meriam terkeras. Kaca-kaca jendela bergetar hebat bahkan jam dinding berhenti berdetak karena sapuan gelombang kejut. Abu dan batu apung berjatuhan di Selat Sunda, menggiring orang untuk melongok ke puncak Perbuatan, salah satu puncak di pulau gunung api Krakatau, yang tiba-tiba meletus.
Namun, setelah kegaduhan itu, Krakatau kembali tenang. Pulau dengan tiga kawah itu tidur tenang, dikitari laut biru yang dalam. Setelah hari keempat berlalu dengan damai, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s'Jacob menyimpulkan saat yang bagus untuk melihat Krakatau dari dekat, melihat apa yang terjadi, dan yang lebih penting lagi: untuk menyimpulkan apakah kejadian serupa bisa terulang kembali. Dia mengutus insinyur pertambangan, AL Schuurman, pergi ke sana.
Berbeda dengan kekhawatiran s'Jacob, perusahaan pelayaran The Netherlands Indies Steamship Company melihat Krakatau sebagai potensi besar untuk mendatangkan turis sehingga dengan sigap menyodorkan kapal wisata, Gouverneur-Generaal Loudon. "Pada Sabtu, 26 Mei, perwakilan perusahaan menempelkan pengumuman di klub Harmonie dan Concordia, mengiklankan 'wisata menyenangkan' dan mengumumkan harga yang kompetitif sebesar hanya 25 guilder," tulis Winchester.
Pada Minggu sore, kapal uap berbobot mati 1.239 ton itu terisi penuh dengan 86 penumpang dan Schuurman berada di antara mereka sebagai wakil dari pemerintah. Setelah berlayar semalaman, kapten Loudon, TH Lindeman, membuang sauh jauh dari pulau itu. Dia meminjamkan perahu kepada Schuurman. Ditemani beberapa orang yang berani dan penuh rasa ingin tahu, Schuurman mendekati pulau dengan susah payah.
"Dengan mengikuti jejak orang yang paling berani atau mungkin yang paling tolol, kami mendaki lebih jauh tanpa halangan apa pun selain abu yang ambles di bawah kaki kami. Jalannya berada di atas bukit dari mana kami bisa melihat beberapa pokok pohon yang patah mencuat dari lapisan abu, beberapa tonggak menunjukkan bahwa cabang-cabangnya direnggut dengan paksa," tulis Schuurman.
Kelompok kecil ini terus merangsek naik dengan nekad hingga mendekati dasar kawah, yang menurut Schuurman tertutup oleh "kerak buram berkilat-kilat," yang kadang-kadang membara merah dan mengeluarkan ”gulungan asap dalam gelembung-gelembung raksasa yang banyak tetapi rapat”. Schuurman akhirnya kembali ke Loudon setelah Lindeman berkali-kali membunyikan klakson.
Dua bulan kemudian Krakatau berangsur dilupakan. Hingga pada 11 Agustus, kapten angkatan darat Belanda, HJG Ferzenaar, diperintahkan menyurvei Krakatau untuk kepentingan topografi militer. Dia melewatkan dua hari di sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu secara detial, termasuk titik-titik berwarna merah yang menjadi pusat semburan.
Dia memberi catatan bahwa survei yang lebih rinci "harus menunggu sampai nanti, sebab pengukuran di sana masih sangat berbahaya; setidaknya, saya tidak akan suka menerima tanggung jawab mengirimkan seorang surveyor."
Namun, Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada 27 Agustus 1883, pulau ini meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau Krakatau yang dibuat Ferzenaar adalah yang terakhir yang pernah dibuat.
Ledakan berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak hanya menghancurkan tubuh Pulau Krakatau. Kehancuran juga melanda pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas dan tsunami melanda, menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung, serta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.
Kengerian itu digambarkan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam, satu-satunya laporan pandangan mata yang dibuat pribumi tentang letusan Krakatau. Muhammad Saleh lewat bait syairnya menggambarkan di atas langit terlihat seperti bunga api beterbangan seperti bahala yang diturunkan Tuhan dan membuat hati takut bukan kepalang. Kegelapan menyelimuti, guncangan gempa tiada henti, dan datang gelombang menghanyutkan. "Besar gelombang tidak terperi, lalulah masuk ke dalam negeri, berlarian orang ke sana kemari...," tulis Muhammad Saleh.
Petaka Krakatau itu menambah derita rakyat yang beratus tahun disengsarakan ekonomi kolonial dan priyayi pribumi yang mengisap. "Tak disangsikan lagi bahwa wabah penyakit ternak dan wabah demam, serta kelaparan yang diakibatkannya, dan letusan Gunung Krakatau yang menyusul, telah menjadi pukulan hebat bagi penduduk," tulis Sartono Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten 1888.
Menurut sejarawan terkemuka ini, "... letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling Caringin dan Anyer." Kondisi kesengsaraan yang kemudian bertemu dengan gerakan sosial-keagamaan ini menjadi pemantik kesadaran rakyat untuk melawan Belanda, yang dianggap sebagai pendosa dan biang dari segala kesengsaraan itu. Dua bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang. Seorang serdadu Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian. Kejadian berulang sebulan kemudian. Serentetan perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan hingga pada Juli 1888 muncullah pemberontakan petani Banten.
Disarikan dari Kompas.com
0 comments:
Posting Komentar