Pengetahuan yang dibagi turun temurun dalam suatu masyarakat berjasa besar dalam penanggulangan bencana sebuah daerah. Sebab, pengetahuan yang biasa disebut kearifan lokal ini membuat masyarakat lebih tanggap saat suatu bencana menerjang wilayahnya.
Saat gempa dan tsunami menerjang Aceh di tahun 2004, warga Pulau Simeulue yang tidak jauh dari pusat gempa, hanya mengalami korban jiwa sebanyak tujuh orang. Sebaliknya, warga Banda Aceh yang berada di daratan utama menderita korban tewas paling banyak --mencapai 161.000 orang tewas.
"Ini semua karena kearifan lokal. Gempa dan tsunami masuk sebagai nyanyian (rakyat) oleh masyarakat Pulau Simeulue. Saat bencana terjadi, warga Pulau Simeulue tahu apa yang harus dilakukan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho di Lido, Bogor, Selasa (13/3).
Kearifan lokal menyangkut gempa dan tsunami tertanam paling lekat di masyarakat Jepang. Saat gempa 9,0 skala Richter dan tsunami menerjang Jepang pada 11 Maret 2011, semua anak sekolah di kota Kamaishi, Prefektur Iwate, berhasil diselamatkan karena adanya pendidikan bencana.
Jepang belajar banyak mengenai gempa dan tsunami dari rekam jejak nenek moyang mereka. Saat bencana itu terjadi di Meiji-Sanriku pada tahun 1896, korban tewas mencapai 1.867 orang atau sama dengan 83 persen jumlah penduduk. Ketika gempa dan tsunami kembali terjadi di Showa Sanriku tahun 1993, korban tewas 'hanya' 972 orang atau setara dengan 20 persen dari jumlah penduduk.
Menurut B.Wisnu Widjaja sebagai Kepala Pusat Pelatihan BNPB, Indonesia bisa menajamkan kearifan lokal seperti ini. Salah satu caranya dengan mengadakan pelatihan di daerah-daerah.
"Memang pelatihan ini belum bisa menjangkau secara tepat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang ada pun umurnya baru 1-2 tahun. Tapi ini bisa membantu membangun desa-desa yang tangguh di Indonesia," ujar Wisnu.
(Sumber :National geographic)
0 comments:
Posting Komentar